Sekretariat Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerjasama dengan URDI kembali mengadakan serial diskusi Pojok Iklim bertema Carbon Sequestration dengan topik “Oleh-oleh Katowice” yang diselenggarakan pada Kamis, 10 Januari 2019. Pembicara pada topik ini adalah Bapak Joko Prihatno (Ditjen PPI, KLHK) dan Dicky Edwin Hindarto (Penggiat Perubahan Iklim). Tujuan penyelenggaraan Pojok Iklim dengan topik ini adalah menemukenali aksi nyata Paket Iklim Katowice dalam mencapai target penurunan emisi sesuai Perjanjian Paris dan menggali langkah nyata yang dapat dilakukan Indonesia untuk menerapkan Paket Iklim Katowice sebagai kontribusi terhadap hasil COP24.
Hasil pelaksanaan COP24 di Katowice, Polandia menghasilkan berbagai agenda penting untuk dilaksanakan Pemerintah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. Elaborasi NDC, kesepakatan penghitungan emisi GRK, pendanaan perubahan iklim, pencatatan upaya penurunan emisi GRK, serta transfer teknologi merupakan beberapa hal-hal penting yang harus menjadi perhatian Indonesia untuk memenuhi target penurunan suhu bumi di bawah 20 celcius.
Elaborasi NDC Indonesia perlu didorong untuk memenuhi target penurunan emisi pada sektor kebakaran hutan dan lahan, deforestasi, degradasi hutan dan lahan, serta rehabilitasi dan restorasi gambut. Keempat sektor tersebut juga perlu direview kembali karena sudah terjadi banyak peningkatan dari status non-hutan menjadi grassland. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi double counting dan perlu dilakukan penghitungan kembali (rekalkulasi). DPPPI akan mencanangkan elaborasi NDC dengan pendanaan dari kemitraan dan climate governance. Masing-masing Kementerian/ Lembaga harus mengelaborasi target penurunan emisi tersebut sesuai kewenangan dan tanggung jawabnya untuk kemudian digabungkan dan dielaborasi bersama. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang terintegrasi, baik di sektor internal KLHK maupun antar Kementerian/ Lembaga. Oleh karena itu perlu dibangun sistem bersama sehingga dapat dirumuskan Indonesia Pathway 2020 sesuai hasil COP 24.
Dalam hal penghitungan emisi GRK, Indonesia menggunakan panduan IPCC 2006. Melalui panduan tersebut, Indonesia sudah melakukan gap analysis terkait transfer teknologi dan capacity building. Hasil gap analiysis tersebut telah tercantum dalam 2nd BUR, termasuk di dalamnya bentuk transfer teknologi yang sudah diterima dan dilaksanakan Pemerintah Indonesia (terkait dengan renewable energy, dan sebagainya).
Terkait pendanaan perubahan iklim, terdapat usulan dimana negara maju harus menginformasikan dukungan pendanaan setiap 2 tahun sekali. Untuk dapat mengakses pendanaan tersebut (yang berupa adaptation fund), Indonesia memerlukan penguatan kapasitas manajemen pengelolaannya. Sesuai Paris Agreement, adaptaion fund berlaku efektif mulai 1 Januari 2019. Pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim berasal dari pendanaan publik dan sektor swasta yang bersifat sukarela. Namun hingga saat ini, prosedur kebijakan tersebut sedang dikaji dan diadopsi. Di samping itu, upaya pendanaan perubahan iklim juga harus terkait dengan dengan pencatatan upaya penurunan emisi GRK. Pencatatan upaya penurunan emisi GRK harus berlandaskan prinsip transparansi sebagai syarat utama aksi adaptasi dan mitigasi. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya double claiming, registring, counting, dan financing.
Salah satu contoh bentuk pendanaan perubahan iklim yang dilakukan di negara Thailand adalah aksi voluntary penanganan perubahan iklim yang mendapatkan fasilitas insentif dari negara, dimana negara memfasilitasi pembentukan harga carbon tax. Pemerintah Indonesia seharusnya dapat melakukan hal yang sama dengan memfasilitasi perumusan kebijakan pendanaan mitigasi melalui insentif carbon tax. Pajak dalam aksi mitigasi tersebut dimaksudkan untuk mengubah perilaku sektor swasta yang menjalankan usahanya pada empat sektor yang menjadi target penurunan emisi. Carbon tax tersebut dapat juga diterapkan pada sektor transportasi yang penggunaannya dapat dialihkan untuk kepentingan lingkungan dan membantu mengurangi emisi.
Tentang pelaksanaan transfer teknologi, kerangka dan konsep teknologi yang akan digunakan harus menjadi dasar dalam penyusunan rencana kerja transfer teknologi dengan merujuk pada target NDC Indonesia serta mampu mendorong political will NDC di sektor energi. Transfer teknologi pada sektor energi sangat potensial untuk dilakukan karena energi merupakan salah satu kontributor terhadap emisi GRK. Upaya inovasi di bidang energi masih terkendala oleh peralatan dan teknologi yang belum tersedia. Negara-negara yang terlibat dalam COP dapat dimanfaatkan untuk melakukan kerjasama antar negara terkait transfer teknologi, seperti pengembangan energi biomassa.