Loss and damage merupakan bagian penting dalam pembahasan dan topik menarik pada agenda COP 24. Pembahasan terkait loss and damage erat kaitannya dengan bencana akibat perubahan iklim dan dampat yang ditimbulkan. Isu tersebut yang diangkat di dalam seri diskusi Pojok Iklim yang diselenggarakan Sekretariat DPPPI, KLHK dan URDI untuk tema Carbon Sequestration. Topik yang menjadi bahan diskusi adalah Dari Polandia ke Chile: Resiliensi dan Perubahan Iklim yang menghadirkan narasumber Ibu Sri Tantri Arundhati (Ditjen PPI, KLHK), Bapak Raditya Jati (BNPB), dan Bapak Mahawan Karuniasa (APIK Indonesia Network).
Dalam Paris Agreement artikel adaptasi (artikel 7) terdapat perbedaan pandangan antara bencana akibat perubahan iklim dengan loss and damage pada artikel 8. Latar belakang loss and damage dalam artikel 8 dipisahkan dalam artikel tersendiri dari adaptasi karena adanya kerugian besar akibat dampak bencana perubahan iklim terutama di Negara kepulauan. Sehingga loss and damage menjadi perhatian sendiri. Loss and damage terjadi ketika tidak melakukan upaya adaptasi secara maksimal. Sebagai sebuah dampak turunan, loss and damage sangat bersifat scientific karena harus diukur besaran tingkat kerugian dan kerusakannya.
Tren kejadian bencana di Indonesia selalu meningkat dan sekitar 90% berupa bencana hidrometeorologi akibat dampak perubahan iklim. Hal ini memerlukan upaya mitigasi bencana struktural dan non-struktural. Mitigasi struktural lebih ditekankan pada sektor infrastruktur yang tahan bencana. Kebijakan rencana tata ruang merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi bentuk mitigasi struktural. Sedangkan mitigasi non-struktural terkait dengan penguatan kapasitas sosial-ekonomi masyarakat. Masyarakat telah memiliki aksi mitigasi bencana skala lokal yang berasal dari local wisdom dan telah diajarkan secara turun temurun. Hal ini merupakan bentuk rekayasa sosial dalam aksi mitigasi bencana karena sangat potensial untuk mengurangi loss and damage. Sosialisasi tentang mitigasi non-struktural juga dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan melalui upaya peningkatan awareness public mengenai resiko bencana dan meningkatkan kesadaran siswa terhadap bencana. Salah satu entry point penting dalam upaya peningkatan awareness/ sosialisasi terhadap kebencanaan adalah bagaimana melindungi aset serta sejauh mana mitigasi bencana dilakukan karena kesiapsiagaan saja tidak cukup.
Untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pencegahan dan pengurangan risiko terjadinya bencana di Indonesia, BNPB telah menerima pendanaan dari Kementerian Keuangan yang dialokasikan sekitar sepuluh triliun rupiah untuk program tanggap dan merespon bencana. Namun sebagian besar dana program tersebut digunakan untuk upaya yang bersifat reaktif, dan bukan mitigatif. Untuk meminimalkan loss and damage, risiko bencana harus dikelola sebaik mungkin melalui tindakan rehabilitasi sebelum terjadinya bencana. Misalnya upaya rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mengurangi dampak banjir dan longsor. Sejauh ini tantangan untuk mitigasi bencana adalah mengintegrasikan data iklim dengan KLHK, selain data tentang DAS.
Upaya pengembangan koherensi adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana di Indonesia oleh BNPB dilakukan dengan mengintegrasikan indikator kebencanaan dengan dengan indikator SDGs; melakukan diseminasi kepada publik terkait dengan resiko bencana dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan melalui geospasial portal data dan informasi melalui laman geospasial.bnpb.go.id, dibi.bnpb.cloud, inarisk.bnpb.go.id; melibatkan peran pemerintah daerah dalam proses pendataan dan analisis data dan kebencanan; serta mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana dengan rencana pembangunan (RTRW, RPJM, KLHS, AMDAL, dan sebagainya).
Secara keseluruhan, aktivitas dan program pengurangan risiko bencana bertujuan untuk making the national resilience melalui program/upaya desa berketahanan, sekolah aman dan berketahanan, kota dan kabupaten berketahanan yang terintegrasi dengan rencana pembangunan dan ditunjang dengan infrastruktur yang berketahanan. Konsep tersebut merupakan bentuk nyata upaya mitigasi bencana yang terkait dengan dengan kebijakan penataan ruang/penggunaan lahan disertai kebijakan terkait struktur bangunan. Aksi nasional untuk ketahanan iklim harus ditunjukkan dengan upaya pengurangan risiko bencana berbasis ekosistem karena dampak bencana dapat melampaui wilayah yurisdiksi suatu daerah.
Untuk konteks Indonesia, respon terhadap loss and damage sudah dimasukan ke dalam NDC yang terkait dengan ketahanan sosial dan sumber penghidupan. Dalam upaya respon terhadap loss and damage, perlu dibentuk komite eksekutif dan sebuah clearing house for risk transfer dan task force untuk memberikan rekomendasi tentang bagaimana rekomendasi untuk mengatasi displacement akibat dampak perubahan iklim.
Hingga saat ini, tantangan untuk mengurangi loss and damage adalah penyelarasan kebijakan, koordinasi antara lembaga terkait dampak perubahan iklim, skema pendanaan termasuk monitoring dan evaluasinya, pengelolaan kegiatan di lapangan, serta kesepakatan metode yang digunakan dan dianggap valid.
Terkait isu peningkatan kapasitas dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih terdapat gap dalam upaya penurunan emisi GRK. Sehingga emisi GRK sampai saat ini masih tetap mengalami peningkatan. Namun demikian, dalam COP 24 negara Indonesia menjadi percontohan dalam upaya capacity building karena telah menyusun dokumen terkait pemetaan kapasitas tiap aktor dalam aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dalam hal ini, konteks kapasitas memiliki cakupan lebih luas dan tidak hanya tentang masyarakat terdampak bencana perubahan iklim. Kapasitas juga dapat mencakup kapasitas aktor politik dan institusi pembangunan. Keterlibatan isu politik dikarenakan sikap politik yang dapat mempengaruhi proses dan substansi penyusunan dokumen rencana pembangunan maupun tata ruang yang akan memberikan dampak besar terhadap ketahanan wilayah.