Conference of the Parties (COP) 24 telah dilaksanakan pada akhir 2018 dan menghasilkan pedoman Perjanjian Paris (Katowice Climate Package). Salah satu pending issues dalam pembahasan COP 24 secara detail adalah mengenai mekanisme mitigasi perubahan iklim (Article 6 Paris Agreement). Topik ini mendasari seri diskusi Pojok Iklim Carbon Sequestration dengan judul Alotnya Pembahasan Artikel 6, Pembiayaan Mitigasi Perubahan Iklim – Antara Peluang dan Tantangan Pasca COP-24. Diskusi ini menghadirkan narasumber Bapak Wahyu Marjaka (Ditjen PPI, KLHK), Ibu Kuki Soedjahmoen (Utusan Khusus Presiden RI untuk negoisasi Artikel 6), dan Ibu Dida Gardera (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian).
Pembahasan mengenai mekanisme Article 6 terkait erat dengan skema pembiayaan mitigasi perubahan iklim. Salah satu isu pembahasan Article 6 pada COP 24 adalah mengenai market dan non market. Salah satu model pembiayaan mitigasi perubahan iklim yang paling efektif adalah mekanisme pasar. Namun implementasi mekanisme pasar banyak menghadapi kendala teknis seperti penyusunan skema, aturan dasar, model MRV, transparansi, transfer unit, sistem akuntansi, serta sistem registri. Sementara itu, pendekatan non market masih perlu pengembangan kajian dan diskusi mendalam.
Artikel 6 lebih terkait dengan pasar karbon internasional. Mekanisme pelaksanaannya bersifat tidak wajib (sukarela). Namun alotnya perundingan dalam COP 24 dikarenakan komitmen pelaksanan kerjasama ini membutuhkan aturan yang jelas sehingga bersifat mengikat dan wajib dipatuhi. Sehingga keputusan Article 6 hanya bersifat procedural terkait tentang apa yang akan dilakukan pada 2019. Tiga isu besar yang dibahas dalam Article 6 adalah bagaimana transfer hasil mitigasi melalui kerjasama sukarela, bagaimana mekanisme pasar karbon (CDM), dan seperti apa kerjasama sukarela untuk yang non-pasar. Dalam pembahasan tersebut, negara Brazil melakukan penentangan karena negara tersebut banyak melakukan proyek CDM. Namun pemerintah Brazil tidak menghendaki upaya reduksi emisi dengan mekanisme CDM yang telah dilakukan nantinya juga diakui oleh oleh negara pembeli. Sehingga menimbulkan double counting, double claiming, dan registrasi.
Terkait implikasi hasil negoisasi Article 6, sejauh ini posisi Indonesia sedang tidak menguntungkan. Pemerintah Indonesia belum bisa memastikan dan sedang mengukur seberapa jauh target yang mampu dicapai Indonesia pada 2030. Hingga saat ini, upaya perdagangan karbon yang dilakukan sektor swasta belum difasilitasi oleh negara terutama terkait dengan proyek biomasa yang ditekankan pada upaya memenuhi renewable energy. Dalam hal perdagangan karbon, Indonesia dapat menggunakan opsi untuk untuk berbelanja karbon di tingkat internasional apabila harganya lebih murah. Sedangkan pihak swasta dari Indonesia bisa menjual karbon ke pasar internasional jika harganya lebih mahal dibandingkan pasar karbon domestik. Contoh lain dari penerapan Article 6 adalah kerjasama Indonesia dan Norwegia yang bersifat sukarela. Artinya Pemerintah Norwegia akan memberikan bantuan pendanaaan untuk kegiatan yang bersifat reduksi emisi. Namun hasil perhitungan penurunan emisi tetap diakui sebagai pencapaian Pemerintah Indonesia.
Dari segi kesiapan, Indonesia sudah dianggap mampu untuk memasuki pasar karbon domestik dan terus melakukan pembenahan dan dimatangkan konsepnya. Pasar karbon domestik dapat membantu dalam mencapai target NDC. Kesiapan pasar karbon domestik Indonesia untuk menuju pasar karbon internasional sudah mencapai langkah ke-8 dari 10 langkah, diantaranya emission trading scheme dan carbon offset. Emission trading scheme harus menetapkan baseline emisi dan perlu adanya penetapan terkait jual beli teknologi untuk mendukung perdagangannya. Secara ekonomi, semua teknologi ramah lingkungan akan fisibel dalam kurun waktu 20 tahun kedepan. Namun membutuhkan investasi ekonomi yang besar di awal. Sedangkan untuk carbon offset, kondisi ini akan inline dengan BPDLH untuk membagi peran pemerintah dan non-pemerintah. Hal ini terakomodasi dalam PP 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan sebagai payung hukum mekanisme perdagangan karbon. Oleh karena itu perlu dibuat peraturan turunan dari PP tersebut terkait mekanismenya. Dengan segala kesiapan tersebut, Indonesia bisa bersiap saat menghadapi pasar karbon internasional/global pada tahun 2021.
Saat ini pelaksanaan carbon market di Indonesia dalam mendukung pengendalian perubahan iklim sedang dalam pengembangan MRV dan uji coba pelaksanaannya, dan dilanjutkan dengan penyusunan regulasi (berupa Permen KLHK). Mekanisme pasar karbon yang sedang dibahas dan akan dilaksanakan di Indonesia adalah perdagangan emisi (cap and trade), sertifikat efisiensi energi, cap and tax, dan mekanisme offset dimana pemerintah sepakat akan mendahulukan skema insentif untuk menstimulasi para pihak yang terlibat perdagangan karbon. Program pemerintah seperti Proper, standar industri hijau, dan BPDLH nantinya akan inline dengan pasar karbon.
Keterlibatan sektor swasta dalam pelaksanaan carbon market di Indonesia dapat mengacu pada sustainbale public procurement yaitu suatu mekanisme perdagangan dimana Pemerintah diwajibkan membeli komoditas yang lebih ramah lingkungan (sesuai Perpres 16/2018), sehingga dapat mendorong swasta untuk menyediakan komoditas tersebut. Dengan upaya tersebut, diharapkan Pemerintah dapat mengakui kontribusi sektor swasta dalam skema carbon credit dan mendorong adanya insentif yang diberikan kepada swasta dalam skema tersebut untuk dikaji. Selain itu, keberadaan pasar karbon domestik diharapkan bisa mendorong peran swasta dalam memproduksi komoditi ramah lingkungan dan dapat berkontribusi dalam penurunan emisi GRK. Mekanisme insentif yang akan diberikan disesuaikan dengan mekanisme MRV yang dilakukan dari pemerintah terhadap swasta. Untuk saat ini, fokus pasar karbon akan condong pada sektor pembangkit listrik dan sektor industri (seperti industri semen dan pupuk) berdasarkan jumlah emisi GRK yang dihasilkan.
Berkaitan dengan dana pengelolaan lingkungan hidup, pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada awalnya untuk mengakomodasi dana perubahan iklim dari Norwegia. Secara umum, BPDLH berfungsi untuk melakukan pendanaan perubahan iklim dan sedang dibahas untuk pendanaan di bidang lain seperti energi, dan sebagainya. Sehingga diperlukan pemetaan emisi dari setiap sektor untuk skema pendanannya. Ditjen PPPI, KLHK sedang menyusun draft rencana strategi bisnis dan tata kelola BPDLH dan sedang didiskusikan dengan Kementerian Perekonomian tentang mekanisme pelaksanaannya. Draft tata kelola yang sedang disusun akan menggambarkan proses bisnis BLU. Selain itu, Kementerian Keuangan sedang membentuk unit satuan kerja (Satker) non eselon untuk mekanisme pengelolaan pendanaannya.
Berdasarkan Perpres 77 tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup, mekanisme BPDLH meliputi penghimpunan sumber dana (multi sumber), penyaluran dana (khususnya untuk kepentingan penurunan emisi GRK), dan pemupukan dana (melalui instrument perbankan, pasar modal, dan instrument keuangan). Sumber dana BPDLH dapat berasal dari dana penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan (dari pemerintah pusat dan daerah), dana amanah/konservasi (yang bisa dimanfaatkan untuk dana adaptasi).
Arah penggunaan dana BPDLH digunakan antara lain untuk kegiatan pendukung penguatan REDD dan result based seperti konservasi stok karbon, penurunan deforestasi. Dari peraturan tersebut menunjukkan bahwa pasar karbon sudah dapat diakomodasi BPDLH. Sebagai permulaannya dapat dimulai dari program REDD untuk kegiatan mitigasi perubahan iklim. Sedangkan untuk program dan skema lainnya sedang dalam tahap pengkajian. Diharapkan dengan skema mitigasi dari program REDD tersebut dapat memicu untuk munculnya skema-skema lain. Pada saat yang sama, Pemerintah sedang merumuskan Permen tentang pasar karbon yang mengacu pada Perpres 77 tahun 2018.
Terkait besaran dana yang digunakan, saat ini Kementerian Keuangan sedang menganalisa detail besaran dana yang dapat dikelola. Dana yang sudah disiapkan Pemerintah sekitar lima ratus milyar rupiah untuk modal awal. Penggunaan dana tersebut harus ditetapkan dengan kebijakan pendukung sebelum dimanfaatkan sekaligus dilakukan pengaturan tata kelola dan strategi bisnisnya.