Pemerintah Indonesia menetapkan 64 persen wilayah daratannya sebagai kawasan hutan dan termasuk kawasan hutan hujan terluas ketiga di dunia. Selain itu, Indonesia juga termasuk dalam daftar 10 besar negara penghasil emisi gas rumah kaca di dunia karena persoalan deforestasi, degradasi hutan, dan kebakaran lahan.
Namun demikian, kawasan hutan tersebut masih memiliki kemampuan besar dalam penyerapan karbon dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adat dan komunitas lokalnya. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan terdapat 37,3 juta jiwa penduduk yang tinggal di 24.863 desa yang berada di dalam atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Mereka adalah Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL) yang selama ini menjadi kekuatan utama dalam mengelola hutan dan lahan secara lestari sesuai kearifan lokal.
Guna mendukung aktivitas MAKL dalam mengelola hutan yang lestari, sebuah konsorsium yang dipimpin The Samdhana Institute melakukan kegiatan yang dinamakan Permata. Permata, singkatan dari Perluasan Hak Masyarakat, Inovasi Mata Pencaharian & REDD+ di Indonesia, merupakan suatu proyek yang bertujuan mendukung hak MAKL dalam meningkatkan mata pencaharian serta tata kelola yang lebih baik dan berkelanjutan di sektor hutan dan lahan untuk mengatasi masalah deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.
Anggota konsorsium yang mengerjakan proyek Permata terdiri dari The Samdhana Institute, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), URDI, Yayasan Kitong Bisa, Perkumpulan Kaoem Telapak, Perempuan Aman, dan Rain Forest Norway (RFN). Proyek ini didukung oleh Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI) dari Pemerintah Norwegia melalui Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad) serta dukungan lembaga lain yang sejalan dengan tujuan program tersebut.
Fokus proyek Permata adalah mendukung MAKL mewujudkan kepastian atas tanah dan hutannya serta pengembangan mata pencaharian yang lestari melalui peningkatan kapasitas yang terintegrasi dengan pasar komoditas yang lestari bersama pemerintah daerah dan Kementrian/Lembaga terkait. Lokasi proyek berada di 6 kabupaten yaitu Kab. Merauke dan Kab. Jayapura (Provinsi Papua); Kab. Tambrauw dan Kab. Teluk Bintuni (Provinsi Papua Barat); Kab. Malinau (Provinsi Kalimantan Utara); dan, Kab. Kapuas Hulu (Provinsi Kalimantan Barat). Penerima manfaatnya adalah MAKL yang tinggal di kawasan hutan dan sekitar kawasan hutan di Indonesia, pemerintah daerah, dan Organisasi Masyarakat Sipil di tingkat lokal.
Strategi intervensi yang dilakukan ialah melalui Pengakuan Hak Tenurial Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL); Peningkatan Mata Pencaharian yang Berkelanjutan; Peningkatan Kapasitas Pemerintah di Tingkat Kabupaten; dan, Pemberdayaan Kelompok Perempuan dan Pemuda. Hasil yang diharapkan dari proyek ini berupa terjaminnya hak atas tanah dan sumber daya alam masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan; peningkatan pendapatan masyarakat; adanya kebijakan dan kelembagaan yang secara aktif mempromosikan dan mendukung pengembangan masyarakat adat berbasis hak; dan, penguatan kapasitas masyarakat adat untuk mempertahankan, melindungi dan mengelola sumber daya hutan sebagai bagian dari mata pencaharian yang tangguh dan mandiri.