Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris pada 19 Oktober 2016 yang ditetapkan melalui Undang-undang (UU) No 16 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris. Ratifikasi tersebut merupakan sikap politik Indonesia untuk turut berkontribusi pada usaha-usaha global merespon ancaman perubahan iklim, dan pada saat yang sama terkait dengan upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan. Topik ini menjadi rujukan untuk seri diskusi Pojok Iklim Carbon Sequestration yaitu Implementasi NDC di Indonesia. Narasumber pada diskusi ini adalah Ibu Emma Rachmawaty (Ditjen PPI, KLHK), Bapak Hariyanto (Kementerian ESDM), Bapak Iman Santoso (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia), dan Bapak Fabby Tumiwa (IESR).
Sesuai mandat Perjanjian Paris, Pemerintah Indonesia menyusun Nationally Determined Contribution (NDC) pertama, yang menjadi landasan bagi pengembangan kerangka kerja kebijakan, rencana dan program tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Implementasi NDC Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah penyiapan prakondisi yang harus bisa diselesaikan sebelum tahun 2020. Tahap ini terdiri dari: pengembangan ownership dan komitmen; pengembangan kapasitas; enabling environment; penyusunan kerangka kerja dan jaringan komunikasi; kebijakan satu data GRK; penyusunan kebijakan, rencana dan program (KRP) intervensi; dan penyusunan pedoman implementasi NDC, termasuk review kesiapan memasuki periode komitmen 2020 – 2030. Tahap kedua adalah implementasi pada periode komitmen pertama mulai tahun 2020 – 2030. Tahap ketiga adalah pemantauan dan review NDC selama periode komitmen, yang mencakup capaian target baik dari sisi pengurangan emisi dan peningkatan kapasitas adaptasi serta peningkatan resiliensi termasuk pelaporan internasional (yang dikoordinasikan KLHK) serta capaian target pembangunan (yang dikoordinasikan oleh BAPPENAS).
Ketiga tahap ini bukan berarti subsekuen antara satu tahap ke tahap berikutnya namun dilaksanakan secara simultan. Pemantauan dan evaluasi (MRV untuk pengurangan emisi) sudah mulai dilaksanakan pada tahap penyiapan prakondisi untuk memperbaiki dan penyesuaian dengan situasi serta sumberdaya yang ada. Sampai dengan 2019, Pemerintah Indonesia sedang melakukan penguatan terhadap SRN, MRV, REDD. Namun belum bisa memberikan hasil penilaiannya, karena belum selesai dilakukan. Besaran dana yang dibutuhkan untuk implementasi NDC Indonesia antara 2018-2020 dalah sektiar 3.400 trilyun rupiah dimana sekitar 3.300 trilyun rupiah digunakan untuk sektor energi dan transportasi berupa pengembangan 49GW renewable energy, sekitar 78 trilyun rupiah untuk sektor AFOLU. Sedangkan sisanya untuk sektor lainnya. Dengan skema pendanaan dari NDC tersebut, Pemerintah Indonesia dituntut harus memenuhi target pengurangan emisi melalui anggaran negara (sebesar 29%) untuk menunjukkan komitmen dan tingkat kemajuannya, untuk dapat menarik bantuan luar negeri sesuai bentuk performance based (sebesar 41%).
Bentuk kontribusi terhadap pencapain NDC (activity based) dari sektor kehutanan antara lain penurunan deforestasi dengan upaya penanaman kembali, penerapan prinsip hutan berkelanjutan, rehabilitasi 12 juta ha lahan (program perhutanan sosial), restorasi 2 juta lahan gambut (diupayakan sesuai target fungsi ekosistem). Dalam implementasinya, terdapat banyak tantangan dan kendala dalam mencapai target NDC Indonesia. Salah satu tantangannya adalah pendataan sektor lahan serta pengukuran dan penguatan tata kelola untuk sektor kehutanan. Masih adanya kegiatan eksploitasi hutan dan berkurangnya jumlah pohon sangat mempengaruhi produktivitas pengusaha hutan dan lahan. Sampai dengan saat ini, faktor eksploitasi dan jumlah pohon masih rendah. Status saat ini terdapat 68,85 juta Ha hutan produksi milik swasta yang dikonversi menjadi lahan hutan, dimana sekitar 30 juta Ha sudah dilakukan pemetaan hak. Selain itu, usaha restorasi ekosistem perlu diubah mekanisme perizinannya sebagai perdagangan karbon, bukan sebagai izin pengusahaan hutan kayu.
Dalam bidang energi, target mitigasi emisi diharapkan mampu mencapai 314 juta ton. Permasalahan utamanya terletak pada pendanaan terhadap pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Hal ini sejalan dengan proyeksi sektor emisi energi terhadap NDC dimana porsi EBT yang masih kecil (sekitar 54%) sampai dengan tahun 2030 dibandingkan sektor energi lainnya. Selain itu, terdapat kontradiksi di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Di dalam RUEN, Pemerintah dan swasta diberikan kelonggaran untuk membangun PLTU dengan syarat harus diimbangi dengan pasokan biomassa sebagai alternatif pengurangan batubara. Risikonya adalah akan terjadi perluasan lahan perkebunan untuk memenuhi komoditas dan target biomassa. Sehingga akan menimbulkan emisi baru. Untuk energi di sektor transportasi terkendala oleh penggunaan bahan bakar yang masih didominasi oleh hasil olahan minyak bumi yang seharusnya dapat diganti menggunakan biodiesel. Secara umum, kontribusi emisi GRK mengalami peningkatan dari sektor energi. Namun emisi GRK terbesar di Indonesia berasal dari Pertanian, Kehutanan, dan Perubahan Tata Guna Lahan (AFOLU).
Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah berupaya melakukan konservasi energi agar dapat berkontribusi terhadap capaian NDC Indonesia. Sejauh ini, upaya pemerintah dalam konversi energi adalah membuat produk skim dan label (berbasis EBT) untuk skala rumah tangga dan industri. Seperti penyusunan peraturan (Permen) terkait produk penerangan (lampu) dan pendingin berbasis EBT dan selanjutnya akan diusakan Permen terkait penggunaan produk berbasis EBT lainnya untuk skala rumah tangga dan industri. Upaya konservasi energi lainnya adalah pengusahaan penghematan Penerangan Jalan Umum (PJU) dari produksi PT. ESCO (Energy Services Company).
Namun demikian, upaya konservasi energi masih menghadapi berbagai tantangan dan kendala. Hingga saat ini, sekitar 340 perusahaan industri di Indonesia masih belum menerapkan upaya hemat energi. Pemerintah sedang menyusun PP terkait manajemen energi untuk mengatasi hal tersebut. Perumusan PP manajemen energi tersebut akan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian selaku regulator bagi para pelaku industri. Sejauh ini, Pemerintah Indonesia sedang rutin melakukan pencatatan terkait emisi dari aktivitas ekonomi yang dilakukan. Pemerintah jgua sedang menerapkan ESCO Investment Grade Audit (IGA) untuk mengaudit penghematan energi meski masih perlu diperbaiki dan banyak penyesuaian dalam pelaksanaannya karena terkendala sistem manajemen pendanaan, dan sebagainya. Faktor penentu penurunan emisi/ konservasi energi adalah pembiayaan dan tata kelola. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mengajak pihak swasta untuk melaksanakan konservasi energi. Salah satu contohnya adalah penghematan energi sektor transportasi yang berpotensi mengurangi emisi GRK secara signifikan melalui teknologi perkeretaapian, pembangunan BRT, MRT, jalan tol, penerbangan dan kelautan.
Sementara itu, perkembangan global maupun nasional telah menghasilkan berbagai isu pembangunan baru. Hasil pembahasan COP 24, program pelaksanaan SDGs di Indonesia, serta isu emisi energi. Dalam NDC dijelaskan tentang lima kategori sektor dan proporsi kontribusinya dalam upaya penurunan emisi GRK 29 % dari BAU 2030, yakni: kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%). Adanya perkembangan isu pembangunan dapat mempengaruhi substansi serta implementasi NDC Indonesia, termasuk pembagian proporsi target kontibusi penurunan emisi per sektor.